Obrolan Santai dengan Mahasiswa: Pengalaman Saya Jadi Guru PAI di SD

 

Bismillāhirrahmānirrahīm

Sedikit bercerita, pekan lalu ada seorang mahasiswa semester 4 jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang juga merupakan tetangga saya, namanya Mbak Riri. Ia chat saya bahwa ia ingin melakukan observasi dan wawancara untuk tugas kuliahnya, dan meminta izin untuk mewawancarai saya sebagai guru PAI. Saya pun menyambut baik niatnya dan menyatakan kesediaan saya, dengan catatan saya akan menjawab sebisa saya sesuai waktu yang tersedia.

Pada hari yang telah disepakati, Mbak Riri kembali chat saya di pagi hari untuk memastikan bahwa observasi dan wawancara bisa berlangsung. Saya menyampaikan yang intinya saya baru bisa meluangkan waktu sekitar pukul 10.30an karena saat itu saya sedang menguji ujian praktik PAI kelas 6.

Di tengah-tengah proses ujian praktik, sekitar pukul 10.00, Mbak Riri mengirimkan beberapa pertanyaan wawancara melalui chat. Sayangnya, saya tidak sempat membaca dan menyiapkan jawaban dengan baik karena masih sibuk menguji siswa. Ternyata ujian praktik baru selesai sekitar pukul 11.00.

Akhirnya, wawancara tetap berjalan, dan saya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara spontan sesuai pengalaman saya sebagai guru PAI. Berikut ini beberapa pertanyaan dan jawaban yang saya ingat dari sesi wawancara singkat tersebut:

Mbak Riri    : “Apa motivasi ibu menjadi guru PAI di Sekolah Dasar?”

Bu Dhita  : “Dari dulu saya memang punya cita-cita pengen jadi guru, khususnya buat anak-anak TK atau SD, karena saya memang suka  sama dunia anak-anak. Awalnya sih, jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) bukan pilihan utama saya waktu daftar kuliah, malah jadi pilihan terakhir. Tapi ternyata, Allah kasih jalan di situ, dan lama-lama saya jadi menikmati prosesnya.

Alhamdulillah, sekarang saya bersyukur bisa ada di posisi ini, mengajar anak-anak SD, sesuai cita-cita saya sejak dulu. Rasanya menyenangkan banget bisa jadi bagian dari masa tumbuh kembang mereka.

Motivasi terbesar saya jadi guru PAI itu karena saya anggap profesi ini sebagai ladang pahala dan amal jariyah. Saya pengen bisa ikut menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini, supaya mereka bisa tumbuh jadi anak-anak yang nggak cuma cerdas, tapi juga punya akhlak yang baik dan beradab. Semoga apa yang saya tanam hari ini bisa jadi bekal kebaikan buat mereka di masa depan.”

Mbak Riri  : “Metode pembelajaran apa yang biasa ibu gunakan untuk membuat siswa lebih tertarik dalam belajar agama?”

Bu Dhita   : “Biar anak-anak tertarik dan lebih semangat belajar agama, saya biasanya pakai metode yang seru dan nggak monoton. Jadi nggak cuma ceramah atau baca buku, tapi saya selingi juga dengan cerita, nyanyi bareng, diskusi ringan, dan bermain kuis.

Salah satu yang paling sering saya pakai itu metode menyanyi. Saya suka bikin sendiri lirik lagu yang simpel dan sesuai materi. Biasanya dinyanyikan bareng anak-anak sebelum pelajaran dimulai, setelah mereka hafalan surat pendek atau bacaan salat. Anak-anak jadi lebih semangat dan lebih mudah nangkep materinya.

Kadang juga saya pakai proyektor buat tampilkan presentasi atau video yang berhubungan sama pelajaran. Kalau ada waktu untuk persiapan, saya menyiapkan kuis digital juga. Anak-anak biasanya antusias banget kalau udah main kuis. Tidak hanya kuis berbasis digital, kuis manual pun anak-anak sangat antusias. Tinggal kita pintar-pintar saja membuat variasi kuisnya agar tidak monoton.

Yang paling penting sih, saya selalu berusaha masuk kelas dengan mood yang positif dan semangat. Soalnya kalau guru kelihatan senang dan penuh energi, biasanya anak-anak juga ikut kebawa semangatnya. Harapannya sih, mereka jadi makin suka belajar PAI.”

Mbak Riri : “Bagaimana Ibu menangani siswa yang kurang antusias saat pelajaran PAI?”

Bu Dhita   : “Kalau saya lihat siswa mulai kurang semangat pas pelajaran PAI, biasanya saya coba cari tahu dulu kenapanya. Di awal pelajaran, saya suka tanya kabar mereka, ‘Hari ini gimana perasaannya?’ atau ‘Ada yang mau cerita?’ Kadang kan ada aja anak yang lagi nggak mood atau ada masalah, jadi saya coba bantu bikin mereka lebih tenang dulu biar siap belajar.

Terus, kalau di tengah-tengah pelajaran kelihatan mereka mulai bosan atau nggak fokus, saya biasanya selipin ice breaking yang ringan-ringan, kayak tepuk semangat, game singkat, atau nyanyi bareng biar mereka balik semangat lagi.

Saya juga selalu kasih apresiasi pada siswa walau cuma perubahan kecil, misalnya anak yang biasanya pasif tiba-tiba mau jawab, ya saya puji. Soalnya menurut saya, anak-anak itu kalau udah merasa dihargai dan nyaman, mereka bakal lebih semangat ikut pelajaran.”

Mbak Riri : “Apa strategi Ibu dalam mengintegrasikan nilai-nlai karakter ke dalam pembelajaran PAI?”

Bu Dhita  : “Strategi untuk mengintegrasikan nilai-nlai karakter ke dalam pembelajaran PAI, biasanya saya mengaitkan materi PAI dengan kehidupan sehari-hari siswa. Jadi misalnya kita lagi bahas tentang jujur, saya kasih contoh situasi yang sering mereka alami.

Tapi nggak cuma pas ngajar aja, saya juga coba tanamkan kebiasaan baik lewat hal-hal kecil di keseharian mereka. Contohnya, pas lihat ada anak makan atau minum sambil berdiri, saya langsung ingetin buat duduk atau jongkok, karena itu juga bagian dari adab dalam Islam. Terus, saya biasakan juga mereka untuk bicara yang baik-baik. Kalau ada yang ngomong kasar, biasanya saya tegur sambil minta mereka istighfar.

Yang bikin saya senang, sekarang beberapa anak udah mulai saling mengingatkan. Kalau ada temannya yang ngomong nggak sopan, teman lainnya langsung nyautin, ‘eh istighfar!!.’ Dari situ saya merasa senang banget, karena artinya apa yang kita ajarkan mulai tertanam di diri mereka.”

Mbak Riri   : “Apa tantangan dan keluh kesah Ibu menjadi guru PAI di sekolah?”

Bu Dhita   : “Tantangan saya sebagai guru PAI akhir-akhir ini lumayan berat. Soalnya belum lama ini, kami guru PAI sudah diwanti-wanti sama pengawas dabin supaya bisa benar-benar membimbing spiritual anak-anak. Targetnya, pas lulus kelas 6 itu anak-anak harus sudah bisa wudhu, sholat, dan ngaji dengan baik.

Tapi di lapangan nggak semudah itu. Banyak anak yang belum bisa sholat dan ngaji, karena memang di rumah nggak dibiasakan. Bahkan ada beberapa yang cerita, orang tuanya aja nggak pernah sholat. Jadi ya wajar kalau anaknya juga nggak terbiasa.

Yang lebih bikin miris, ada juga yang nggak disuruh ngaji sama sekali. Mungkin karena memang lingkungan di sekitar rumah juga kurang perhatian soal agama.

Kadang saya sedih, karena kita di sekolah waktunya terbatas. Sementara untuk membentuk kebiasaan ibadah itu butuh pembiasaan tiap hari. Tapi ya gimana pun saya tetap usaha. Saya coba bikin pelajaran PAI itu seru dan bikin anak-anak semangat. Harapannya, ke depan antara sekolah dan orang tua bisa lebih bersinergi. Biar anak-anak nggak cuma dapat ilmunya di sekolah, tapi juga dibiasakan di rumah.”


Sebagai penutup, saya ucapkan terima kasih banyak buat Mbak Riri yang sudah datang dan ngajak saya ngobrol seputar pengalaman jadi guru PAI. Semoga sedikit hal yang saya sampaikan bisa membantu memenuhi tugas kuliah Mbak Riri. Lebih dari itu, saya juga berharap obrolan singkat ini bisa jadi tambahan semangat buat Mbak Riri dalam menjalani proses belajar. Semoga kuliahnya selalu lancar, diberi kemudahan dalam segala urusan, dan nantinya bisa jadi guru PAI yang hebat dan membawa banyak manfaat untuk anak-anak. Aamiin.



 

Posting Komentar

0 Komentar