Barakallah fii Umrik, Bapak!: Refleksi Cinta Seorang Anak

Bismillah.

Mau cerita random sedikit.

Hari ini Bapak genap berusia 64 tahun. Angka yang tidak kecil, namun penuh dengan cerita dan perjalanan hidup. Aku masih ingat, terakhir kali aku bertanya usia Bapak adalah saat aku duduk di bangku SD kelas tinggi atau mungkin awal SMP. Waktu itu aku sedang mengisi formulir yang mencantumkan data orang tua, dan Bapak menjawab bahwa usianya 40-an tahun. Kini, tak terasa, usia itu telah jauh berlalu.

Sedikit cerita, tentang Bapak yang masih teringat jelas..

 

Masa Kecil

Sejujurnya, saat kecil aku pernah kesal pada Bapak. Menurut versiku yang masih anak-anak, Bapak adalah sosok yang galak dan sangat disiplin. Aturan Bapak ketat, terutama soal sholat, makan, dan belajar. Jika aku sedang asyik bermain bersama teman-teman, begitu terdengar adzan dzuhur atau ashar, Bapak pasti mencariku, menyuruh pulang, makan, dan sholat berjamaah. Tidak ada kata "tanggung", semua harus dilakukan tepat waktu.
Aku pikir itu hal biasa yang juga berlaku di keluarga lain. Ternyata tidak. Saat bercerita ke teman-teman atau murid-muridku sekarang, mereka heran saat tahu aku tak pernah bolong sholat lima waktu sejak kecil. Dan aku pun heran pada mereka.

Saat ujian semester SD, sepulang sekolah aku tidak diperbolehkan bermain. Harus istirahat agar sore atau malamnya bisa fokus belajar. Teman-teman yang datang untuk mengajakku main pun ditolak secara halus oleh Bapak. Lama-lama mereka tahu: Dhita tidak bisa main saat ujian. Aku sedih waktu itu, hanya karena sedang ujian semester tidak boleh main.

Ada masa aku ngambek karena merasa namaku aneh. Iya. Nama pemberian Bapak. Nama itu membuatku sering diejek. Aku sempat bertanya, "Kenapa bukan Ibu saja yang memberi nama, seperti kakakku?" Tapi seiring waktu, aku bisa menerima dan bahkan bangga saat ada teman yang memuji bahwa namaku cantik. Hihi.

 

Masa Remaja

Saat SMP, aku ingat setiap hari Bapak mengantar dan sering menjemputku sekolah. Lebih tepatnya bonceng Bapak karena arah sekolahnya sama dengan sekolah Bapak mengajar. Awal-awal masuk, aku juga pernah ngambek karena Bapak memaksaku memakai seragam panjang dan berjilbab, padahal belum ada teman sekelas yang mengenakannya. Alasan Bapak sederhana: aurat. Alasan yang sulit kupahami di usia 11 tahun. Tapi lambat laun, ada teman lain yang berjilbab, dan aku tak merasa sendirian lagi.

Suatu ketika saat kemah, Bapak datang menjenguk dan pertanyaan pertamanya adalah:
"Wis sholat rung, Dhit?" (Sudah sholat atau belum, Dhit?)

Aku belum sholat ashar saat itu, dan Bapak langsung mengajakku mencari kran air untuk berwudhu dan mencarikan tempat untuk sholat, hingga akhirnya kami menemukan ruangan kosong yang ternyata gudang olahraga. Saat itu aku belum tahu ruangan apa karena baru awal masuk SMP.

 

Masa SMA - Kuliah

Memasuki usia remaja, aturan Bapak semakin ketat. Aku pernah merasa terkekang. Tapi ketika aku menikah, aku melihat sisi Bapak yang berbeda — lebih lembut, lebih tenang. Mungkin karena Bapak merasa tugasnya telah selesai saat suamiku mengucapkan qobiltu di hadapannya.

Namun ternyata, kasih sayang Bapak tidak pernah habis. Ia tetap memperhatikanku dan cucu-cucunya (anak-anakku). Anakku bahkan heran saat kuceritakan bahwa Bapak dulu sangat tegas. Mereka tidak percaya, karena yang mereka kenal adalah sosok Mbah Kakung yang penyayang dan hangat.


Satu hal yang selalu membuatku kagum:

Bapak tak pernah absen hadir dalam fase-fase penting hidupku.

Sejak kecil hingga dewasa, beliau selalu ada—meski tanpa diminta, tanpa banyak kata, tapi penuh makna.

1. Masa Pendidikan: Selalu Ada di Setiap Langkah Awal

Sejak awal pendidikan, Bapak tak pernah lelah mendampingi:

  • Mengantar saat daftar sekolah, mulai dari SD, SMP, SMA, hingga kuliah.
  • Mengambil rapor, ibuku sama sekali tidak pernah mengambilkan rapor karena tidak bisa naik motor.
  • Mengantar ke tempat kerja pertamaku sebagai guru honorer, karena saat itu aku belum bisa naik motor.

Bapak tidak hanya mengantar secara fisik, tapi juga menjadi saksi perjalanan panjang yang penuh harapan dan perjuangan.


2. Awal Karir: Tetap Setia, Meski Aku Sudah Menikah

Setelah menikah dan tinggal bersama suami, ternyata perhatian dan dukungan Bapak tak serta-merta berhenti. Justru saat itulah, bentuk cinta beliau semakin terlihat:

  • Saat aku dan suami mengikuti tes Kementerian Sosial di Purwokerto, Bapak ikut mengantar. Alhamdulillah, hasilnya membahagiakan. Aku lolos sebagai pegawai swasta yang dinaungi Kemensos, bekerja di kecamatan tempat tinggalku. Gajinya? Lebih dari sepuluh kali lipat gaji guru honorer saat itu.
  • Saat aku dan suami tes CPNS di Magelang, Bapak dan seluruh keluarga ikut mengantar. Alhamdulillah, lagi-lagi usaha dan doa Bapak tidak sia-sia. Aku lolos Seleksi Kompetensi Dasar (SKD).
  • Berlanjut ke tahap Seleksi Kompetensi Bidang (SKB) di Purwokerto, Bapak kembali hadir dan mengantar kami, hingga akhirnya aku lolos menjadi CPNS.

Semua itu beliau lakukan tanpa diminta. Bahkan sering kali tanpa banyak bicara. Tapi tindakannya adalah doa yang paling nyata.


3. Tentang Ibu: Doa yang Tak Pernah Putus

Meski Ibu tidak selalu hadir secara fisik dalam setiap perjalanan itu, doanya selalu membersamaiku.

Ada satu doa andalan dari Ibu yang hingga kini terus tertanam kuat dalam diriku:

“Beja, pinter, kendel, bener.”

(Beruntung, pintar, berani, dan benar.)

Doa itu sederhana tapi sangat dalam.

Doa yang tak hanya keluar dari mulut, tapi juga dari hati seorang ibu yang tulus.

Doa yang menjadi arah langkahku, ke mana pun hidup membawaku.


Aku sering kali berpikir, betapa beruntungnya aku punya sosok Bapak dan Ibu seperti mereka.

 

Bapak menunjukkan cintanya lewat tindakan nyata: kehadiran, pengorbanan waktu, dan tanggung jawab yang besar.

Ibu menunjukkan cintanya lewat doa-doa yang terus mengalir, menembus langit, tanpa jeda.

Tak selalu dengan pelukan, tak selalu dengan kata “sayang.”

Tapi dengan cara mereka sendiri: tulus, diam-diam, tapi luar biasa dalam.

 

Semoga aku dan suami bisa menjadi orang tua yang seperti mereka, hadir, mendoakan, dan mencintai, dengan penuh keikhlasan.

 

Refleksi dan Doa

Kini aku sadar, semua yang dulu kulihat sebagai “kegalakan” dan ketegasan Bapak, sesungguhnya adalah bentuk kasih sayang dan tanggung jawab.

Bapak ingin aku tumbuh menjadi pribadi yang taat beragama, disiplin dalam sikap, dan kuat dalam menghadapi hidup.

Untuk itu, aku ingin menyampaikan:

Terima kasih, Bapak, telah menjadi ayah dengan versi terbaikmu, terima kasih, Ibu, atas doa-doa yang tak pernah putus, yang selalu menyertai setiap langkahku.

Aku berdoa,

Semoga Allah Swt. selalu menganugerahkan kesehatan, kebahagiaan dunia akhirat, serta kasih sayang yang terus mengalir untuk Bapak dan Ibu tercinta.

Dan untuk diriku sendiri,

Semoga aku bisa menjadi orang tua yang mendidik anak-anakku dengan keteladanan, tanggung jawab, cinta, dan keikhlasan, sebagaimana kalian telah mendidikku dahulu.

 

Pesan untuk Pembaca

Kepada para pembaca blog yang berkenan menyimak kisah ini, semoga ada pelajaran berharga yang bisa diambil.

Jika ada nilai-nilai baik dari cerita ini, silakan dijadikan inspirasi. Dan jika ada kekurangan atau kekeliruan, biarlah menjadi pengingat agar tidak diulangi.

 

Terima kasih telah membaca sampai akhir.

Semoga Allah senantiasa membimbing langkah kita sebagai anak sekaligus sebagai orang tua. Aamiin.

 


Selamat ulang tahun ke-64, Bapak.

Barakallah fii umrik.

 

Kebumen, 31 Mei 2025

 

 

Posting Komentar

0 Komentar